Judul: Lucky Number Slevin
Pemain: Josh Hartnett, Bruce Willis, Lucy Liu, Morgan Freeman, Ben Kingsley
Skenario: Jason Smilovic
Sutradara: Paul McGuigan
Produksi: Film Engine, 2006
Tubuh-tubuh itu bergelimpangan. Darah muncrat di kaca mobil, di pintu masuk sebuah gedung, di meja kerja, juga di sebuah buku alamat. Sebuah perang antar-komplotan mafia tengah mendidih. Kelompok The Boss (Morgan Freeman) di satu pihak melawan kelompok seberang, The Rabbi (Ben Kingsley). Ini kesan pertama yang ditancapkan sutradara Paul McGuigan kepada penonton.
Adegan berikutnya menggambarkan kehidupan sebuah keluarga yang harmonis: Max (Scott Gibson) dengan istri dan seorang anak. Max, seorang ayah dan suami yang religius di rumah ternyata seorang penjudi di luar. Ia gemar berjudi toto. Suatu kali ia meminjam uang pada dua orang kaya di New York untuk bertaruh di sebuah pacuan kuda. Ia kalah. Max pun mesti menebus kekalahan itu dengan kematian istri dan anaknya.
Apa hubungan antara Max dengan dua gembong mafia itu? Pertanyaan ini menggantung. McGuigan belum hendak menyuguhkan jawaban. Ia masih mengacaknya dengan cerita lain dengan latar tempat dan waktu yang berbeda.
Slevin (Josh Hartnett) yang masih kasmaran dengan Lindsey (Lucy Liu) didatangi para cecunguk The Boss. Seorang pembunuh bayaran bernama Goodkat (Bruce Willis) menyarankan kepada The Boss untuk menyewa Slevin, orang yang disebut Goodkat memiliki keyakinan dengan angka 13 sebagai keberuntungan. Slevin disewa untuk menghabisi komplotan The Rabbi yang telah membunuh anak The Boss.
Sebaliknya, The Rabbi ternyata juga menyewa Slevin untuk menyelidiki kelompok The Boss yang telah membunuh adiknya. The Rabbi meminta bantuan Slevin setelah mendengar saran Goodkat.
Sampai di sini penonton belum tahu ke arah mana McGuigan membawa kisahnya. Begitu banyak kepingan puzzle yang terserak dan tampaknya dibiarkan begitu saja hingga lebih dari separuh film. Penonton yang maunya duduk dengan tenang sambil mengunyah berondong perlahan-lahan mulai gelisah, sesudah itu bosan dan kemudian terasing. Film apa-apaan ini?
Tapi inilah gaya McGuigan, sang pemuja Quentin Tarantino. Sebagaimana film Pulp Fiction karya Tarantino, McGuigan menyodorkan film kelimanya itu bagai labirin. Ia justru mendorong penonton untuk mencari sendiri jalan keluar dari labirin cerita itu. Faktanya ada sejumlah kisah yang seolah-olah tak saling berhubungan, tapi sesungguhnya semuanya bertemu di satu titik.
Lucky Number Slevin juga mengingatkan pada film Snatch garapan sutradara Inggris Guy Ritchie. Ada plot yang acak, maju-mundur suka-suka sang sutradara, juga karakter-karakter yang campur aduk. Keduanya disusun begitu rupa menjadi bangunan cerita yang kokoh. Dan salah satu yang khas dari Ritchie adalah gambar-gambar tiap babak adegan yang disuguhkan bagai sekumpulan jepretan kamera fotografi. Snatch adalah flash-flash yang bercerita.
McGuigan tampaknya memadukan dua gaya sutradara itu: Tarantino dan Ritchie. Dalam gambar dan plot, ia berkiblat pada Ritchie. Dalam permainan cerita, dan bagaimana menyuguhkan suspensi film agar tetap terjaga, sutradara 43 tahun itu mendudu pada Tarantino. Jadilah Lucky Number Slevin sebuah orkestrasi dua gaya.
Tinggal stamina pemirsalah yang menjadi taruhan akhir: apakah mereka cukup sabar menanti hingga semuanya jelas di ujung film? Apakah mereka bisa menebak bahwa Goodkat yang hadir di setiap tempat sesungguhnya adalah titik temu pelbagai cerita tersebut?
Goodkat adalah pembunuh bayaran yang disewa oleh The Boss dan The Rabbi. Ia hadir di masa lalu ketika ia diberi tugas mengeksekusi keluarga Max. Max rupanya meminjam uang kepada dua penjahat kriminal itu. Goodkat pula yang muncul di masa kini ketika menawarkan nama Slevin kepada dua gembong mafia tersebut sebagai pembawa keberuntungan.
Lalu apa hubungan Max dan Slevin? Siapa yang membunuh anggota-anggota gangster di awal cerita? Sekali lagi McGuigan berteka-teki. Sialan.
(Dari Majalah TEMPO Edisi. 19/XXXV/03 – 9 Juli 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar